"Dulu saya dan keluarga pernah satu gerbong dengan kambing dan hasil panen di gerbong barang saat mudik lebaran." Seorang bapak menceritakan pengalamannya naik kereta api sebelum tahun 2000-an kepada saya. "Kami duduk menggelar tikar di alas gerbong. Iya benar, bersama binatang ternak dan hasil panen.” Tapi itu dulu, kini, kondisinya sudah berubah.
Saya sedang dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta dari stasiun besar Bandung dengan kereta api bisnis Lodaya. Setelah bernostalgia dengan sejarah kereta api di Semarang, selama tiga hari ke belakang saya melanjutkan ekspedisi menyusuri beberapa pemberhentian di Jakarta, Purwakarta, setelah akhirnya transit sehari di kota Kembang sebelum kembali pulang. Perjalanan saya kali ini bertujuan untuk melihat peran penting moda kereta api pascakemerdekaan hingga era sekarang.
Boleh dikatakan, masyarakat di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera lebih beruntung karena lebih dulu dapat menikmati moda transportasi kereta api, bahkan puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, jalur-jalur kereta api warisan kolonial Belanda digunakan oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) seiring pengambilalihan seluruh aset kereta api peninggalan kolonial. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia mencatat ada sepanjang 6.324 kilometer jalur kereta api mengitari Pulau Jawa dan sepanjang 1.835 kilometer di Pulau Sumatera. Dari total panjang jalur tersebut, hanya 3.600 kilometer yang masih beroperasi di Jawa dan 1.369 kilometer di Sumatera, sisanya sengaja ditutup karena kalah bersaing dengan transportasi lain, sembari menunggu waktu suatu saat nanti untuk dihidupkan kembali.
Salah satu sudut Stasiun Besar Bandung, dipenuhi penumpang setiap harinya. Foto: Yusuf Harfi |
Kini, ketika musim mudik lebaran tiba, tiket kereta api biasa habis dipesan bahkan berbulan-bulan sebelum lebaran. Bahkan, tambahan gerbong setiap musim mudik tidak mampu memenuhi kebutuhan kursi penumpang yang ingin pulang ke kampung halaman. Kementerian Perhubungan memperkirakan pada musim mudik 2017 kemarin, ada sekitar 5,6 juta orang eksodus besar-besaran menggunakan kereta api di seluruh Indonesia. Angka tersebut meningkat 1,5 juta orang dari tahun sebelumnya, dan diprediksi terus meningkat setiap tahun.
Interior gerbong baru kereta api kelas ekonomi (K3). Foto: Yusuf Harfi |
Tapi kini, kondisi tersebut sudah berubah. Sepanjang tahun 2017, PT. KAI berencana melakukan peremajaan gerbong dengan mengganti 438 gerbong kereta api. Peremajaan akan terus dilakukan hingga tahun 2019, PT. KAI menargetkan sebanyak 900 gerbong baru buatan PT. INKA (Industri Kereta Api) akan menggantikan gerbong-gerbong yang telah berusia lebih dari 30 tahun.
Fasilitas terowongan di stasiun Manggarai memudahkan mobilisasi penumpang kereta api. Foto: Yusuf Harfi |
Bangunannya
cukup futuristik, peronnya lebar dan nyaman, sistem check in dan pelayanan tiket mirip di bandara. Latar
belakang gedung-gedung pencakar langit menambah kesan modern stasiun ini. "Instagram-able!" Mungkin begitu para kawula muda mendeskripsikannya
dalam satu kata. Saya cukup lama berdiam di lantai dua menghadap ke luar
stasiun, sambil melihat-lihat lalu lalang rangkaian kereta hilir mudik setiap
lima menit sekali. Lanskap ibukota dari spot ini cukup membuat pemilik hobi fotografi untuk datang, apalagi latar belakangnya
gedung perkantoran yang mulai dibalut cahaya sore hari. Setelah
renovasi besar tahun 2014 lalu, stasiun Palmerah kini mempunyai wajah baru.
Pengalaman tersebut menjadi pengalaman saya setiba di stasiun Palmerah, Jakarta Pusat. Pada hari pertama saya di Jakarta, saya memang sudah berniat mengitari ibukota dengan Kereta Rel Listrik (KRL) dan sesekali turun yang melihat-lihat suasana di stasiun pemberhentian. Inilah alasan utama saya memilih Jakarta dan sekitarnya untuk melihat peran kereta api pascakemerdekaan. Mobilitas masyarakat Jakarta yang tinggi dan sudah tersedianya fasilitas jaringan kereta rel listrik menarik saya untuk mencari tahu sendiri seberapa jauh kereta api dibutuhkan masyarakat Indonesia khususnya di ibukota.
Pengalaman tersebut menjadi pengalaman saya setiba di stasiun Palmerah, Jakarta Pusat. Pada hari pertama saya di Jakarta, saya memang sudah berniat mengitari ibukota dengan Kereta Rel Listrik (KRL) dan sesekali turun yang melihat-lihat suasana di stasiun pemberhentian. Inilah alasan utama saya memilih Jakarta dan sekitarnya untuk melihat peran kereta api pascakemerdekaan. Mobilitas masyarakat Jakarta yang tinggi dan sudah tersedianya fasilitas jaringan kereta rel listrik menarik saya untuk mencari tahu sendiri seberapa jauh kereta api dibutuhkan masyarakat Indonesia khususnya di ibukota.
Bangunan modern Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat setelah direnovasi. Foto: Yusuf Harfi |
Proyek elektrifikasi jalur kereta di Indonesia sudah muncul beberapa tahun setelah jalur pertama di Jakarta dibangun pada 1870, kurang lebih hanya tiga tahun berselang setelah jalur pertama Semarang-Tanggung dioperasikan. Olivier Johannes Raap, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (2017) menyebut jaringan kereta api listrik pertama yang dimiliki Indonesia menghubungkan Jatinegara dan Tanjung Priok pada 6 April 1925, bertepatan dengan 50 tahun berdirinya perusahaan Staats Spoorwegen. Saya kutip dari situs resmi PT. KCJ (KAI Commuter Jabodetabek), operator KRL Jabodetabek, layanan KRL sudah melayani 72 stasiun di seluruh Jabodetabek dengan rute mencapai 184,5 kilometer pada tahun 2016.
Stasiun Tanjung Priok, stasiun perintis jalur kereta listrik di Jabodetabek. Foto: Yusuf Harfi |
Korban-korban modernisasi
Sebelum kembali ke Yogyakarta, saya sengaja menyempatkan menghampiri Purwakarta dengan kereta api Argo Parahyangan Gambir-Bandung. Spot ini menjadi tempat terakhir perjalanan saya sebelum kembali ke Yogyakarta. Setiba di stasiun Purwakarta, tumpukan gerbong tua berkarat yang catnya yang sudah mengelupas tertumpuk di seberan peron stasiun.
Sama halnya dengan program peremajaan yang dilakukan untuk kereta api jarak jauh oleh PT. KAI, kenyamanan fasilitas KRL juga menjadi perhatian PT. KCJ untuk memenuhi kebutuhan penumpang terus meningkat dengan melakukan modernisasi sistem pada 2011. Modernisasi tersebut berupa penghapusan KRL Ekspres, penerapan kereta khusus wanita, hingga proyek renovasi dan penataan ulang sarana prasarana. Salah satu bentuk program modernisasi dan peremajaan keretaapi yang dilakukan oleh KCJ adalah mengganti gerbong-gerbong KRL ekspres dengan rangkaian gerbong baru. Gerbong-gerbong tua tersebut pernah digunakan mengantarkan ribuan penumpang di Jabodetabek setiap harinya pada tahun 1980 hingga awal 2000-an.
Karena sudah tua dan tidak tersedianya lagi suku cadang, rangkaian-rangkaian gerbong lama tersebut kemudian ditarik menuju
Purwakarta, 76 kilometer dari Jakarta. Mereka menumpuk puluhan gerbong tersebut bak mainan lego hingga tiga tumpukan gerbong menjulang ke
atas. Dibiarkan mangkrak dan berkarat tepat di seberang peron Stasiun
Purwakarta. Sebutan kuburan KRL pun tersemat pada tempat ini. Tidak jarang, stasiun ini menjadi sasaran para pecinta hobi fotografi kereta, walaupun sebenarnya akses menuju tempat ini sangat dibatasi. Hingga pada akhirnya karena melihat potensi tersebut, belakangan muncul wacana, PT. KAI akan memanfaatkan kawasan
gerbong-gerbong tua tersebut menjadi museum.
Tidak ada setengah hari saya singgah di Purwakarta, selanjutnya saya melanjutkan perjalanan pulang menuju Yogyakarta. Saya sengaja transit semalam di Bandung sembari menuliskan catatan-catatan perjalanan selama tiga hari di atas ke blog ini.
Tuntutan naiknya jumlah penumpang tiap tahun lambat laun direspon oleh pengelola layanan kereta api untuk terus memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kepada penumpang. Apalagi di era sekarang, jaringan transportasi yang nyaman dan terintegrasi merupakan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi mobilitasnya. Ekspedisi belum berhenti di artikel ini, tantangan dan masa depan kereta api Indonesia akan menjadi cerita dan pembahasan pada bagian selanjutnya.
Sama halnya dengan program peremajaan yang dilakukan untuk kereta api jarak jauh oleh PT. KAI, kenyamanan fasilitas KRL juga menjadi perhatian PT. KCJ untuk memenuhi kebutuhan penumpang terus meningkat dengan melakukan modernisasi sistem pada 2011. Modernisasi tersebut berupa penghapusan KRL Ekspres, penerapan kereta khusus wanita, hingga proyek renovasi dan penataan ulang sarana prasarana. Salah satu bentuk program modernisasi dan peremajaan keretaapi yang dilakukan oleh KCJ adalah mengganti gerbong-gerbong KRL ekspres dengan rangkaian gerbong baru. Gerbong-gerbong tua tersebut pernah digunakan mengantarkan ribuan penumpang di Jabodetabek setiap harinya pada tahun 1980 hingga awal 2000-an.
Kuburan KRL di kawasan Stasiun Purwakarta, Jawa Barat. Foto: Yusuf Harfi |
Tidak ada setengah hari saya singgah di Purwakarta, selanjutnya saya melanjutkan perjalanan pulang menuju Yogyakarta. Saya sengaja transit semalam di Bandung sembari menuliskan catatan-catatan perjalanan selama tiga hari di atas ke blog ini.
Tuntutan naiknya jumlah penumpang tiap tahun lambat laun direspon oleh pengelola layanan kereta api untuk terus memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kepada penumpang. Apalagi di era sekarang, jaringan transportasi yang nyaman dan terintegrasi merupakan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi mobilitasnya. Ekspedisi belum berhenti di artikel ini, tantangan dan masa depan kereta api Indonesia akan menjadi cerita dan pembahasan pada bagian selanjutnya.
Alhamdulillah bagian II wes terbit, ditunggu bagian selanjutnya mas yusuf ��
ReplyDeletemantap kak tulisannya dan perjalanan keliling2nnya haha
ReplyDelete