howdyindonesia.com - “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelatihan
tenaga kesehatan di wilayahnya agar mampu memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas,” begitulah bunyi Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Namun, realitasnya pasal tersebut belum terlaksana dengan baik.
Penyandang disabilitas merasa belum diberikan pelayanan kesehatan dengan baik.
Salah satunya dalam bentuk komunikasi. Seperti yang dialami oleh para
penyandang tuli di Yogyakarta.
Atas keresahan itu, komunitas Deaf
Art Community, sebuah komunitas yang berisikan para penyandang tuli di
Yogyakarta bekerjasama dengan komunitas Tokoh Utama dan Warung Kopi Sendu Lalu mengadakan
kegiatan sosialisasi bahasa isyarat dengan menargetkan para tenaga medis. Acara
bertajuk “Memahami Kesunyian” itu bertempat di Warung Apresiasi Lumbini,
Mergangsan, Yogyakarta, pada Minggu (17/2).
Ramdaniar Nur Diana, koordinator acara yang juga seorang dokter
mengungkapkan bahwasanya para teman tuli, sebutan bagi orang-orang dengan
disabilitas tuli, mengalami kesulitan berkomunikasi dengan tenaga medis ketika
berobat.
“Teman tuli sering mengeluhkan kepada saya ketika mereka berobat
kesulitan berkomunikasi dengan tenaga medis seperti dokter,” ungkap Diana melalui siaran pers.
Komunikasi teman tuli selama ini memang terbantu apabila ada
interpreter yang mendampingi. Namun di sisi lain, jumlah interpreter di
Indonesia masih sangat sedikit. Menurut Diana, para teman tuli berharap bisa
berkomunikasi langsung dengan tenaga medis ketika berobat, tanpa adanya
perantara.
Ia pun menceritakan bahwasanya ada seorang dokter gigi tuli di
Indonesia. “Ada satu dokter gigi tuli di Indonesia, dokter Juniyati Effendi, di
tengah disabilitasnya dia masih mampu menjalankan profesinya menangani pasien
yang normal. Seharusnya dokter gigi tidak memiliki disabilitas harus lebih
bisa,” ungkap Diana memberikan motivasi kepada peserta yang hadir.
“Untuk meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal, dokter
dituntut untuk menciptakan suasana yang mendukung. Dokter harus paham kalau ada
pasien tuli seperti apa menanganinya,” tambah Diana.
Sementara itu, Arif Wicaksono, salah satu teman tuli yang
tergabung dalam Deaf Art Community
sangat menanggapi positif kegiatan tersebut. Menurutnya, kegiatan ini merupakan
bentuk gerakan nyata pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas. “Ini bentuk
nyata gerakan mendukung kami, kita tidak bisa terus menunggu peran nyata
pemerintah,” ujar Arif menggunakan bahasa isyarat.
Selain menyampaikan sosialisasi tentang bahasa isyarat kepada
peserta, penyelenggara juga mengadakan sesi praktik bagi peserta untuk
berkomunikasi langsung dengan teman tuli yang hadir selayaknya komunikasi
antara dokter dan pasien.
Airin, salah satu peserta yang hadir, mengungkapkan rasa
antusiasnya mengikuti kegiatan tersebut. Menurutnya, kegiatan semacam ini perlu
dilakukan secara rutin sebagai bekal bagi para tenaga medis berkomunikasi
dengan pasien tuli.
“Acara ini sangat berguna sekali bagi saya yang akan berprofesi
sebagai dokter. Selama ini banyak orang yang takut berkomunikasi dengan teman
tuli, padahal sebenarnya mereka sangat ramah dan terbuka kepada kita,” terang
Airin.
Melihat antusiasme peserta yang tinggi, penyelenggara kegiatan
“Memahami Kesunyian” berharap acara ini dapat diikuti dengan keinginan setiap
orang pada umumnya dan tenaga medis pada khususnya untuk memenuhi hak para
penyandang disabilitas khususnya dalam hal berkomunikasi. (hi/suf)
Comments
Post a Comment
Saya harap anda puas membaca tulisan saya seperti halnya saya puas saat menulisnya.
Kamu adalah apa yang kamu tulis! Komentarmu mencerminkan isi otakmu. Mari budayakan berkomentar baik di internet.