Jurnalisme drone telah menawarkan pengonsumsian pesan dengan perspektif baru dimana visual yang disampaikan bukan hanya sebatas sejajar dengan obyek lagi.
Sebuah kesempatan yang berharga dapat menghadiri kelas jurnalistik bersama Alexander Wibisono, jurnalis Kompas TV saat mengisi acara Kompas Kampus di Grha Sabha Pramana UGM beberapa waktu lalu. Temanya menarik dan menurut saya sangat tidak mainstream dan masih jarang dibahas di forum-forum ataupun seminar. Ya, jurnalisme drone.
Kita mulai dulu dari definisi apa itu Jurnalisme Drone. Secara sederhana Jurnalisme Drone dapat didefiniskan sebagai penggunaan drone (pesawat tanpa awak) untuk kegiatan jurnalistik. Sebuah drone kecil diterbangkan pada suatu tempat untuk mengambil visual tempat itu dari atas dengan kamera kecil yang dipasang pada drone. Berbicara tentang alat bernama drone ini, awal mulanya alat ini digunakan pada tahun 1964-an di masa perang Vietnam. Tentara Amerika Serikat telah menggunakan alat ini untuk memantau musuh di Teluk Tomkin. Indonesia sebenarnya juga sudah mengenal drone pada waktu itu, walaupun dalam bentuk aeromodelling milik PB Fasi, induk olahraga aeromodelling Indonesia.
Dengan menggabungkan teknologi dan kaidah-kaidah jurnalistik, ada beberapa faktor yang mendorong digunakannya drone untuk proses peliputan kegiatan jurnalistik. Kebutuhan untuk mendapatkan visual dari atas selama ini menjadi hambatan bagi kebanyakan media khususnya di Indonesia. Untuk mendapat visual dari atas biasanya media Indonesia seperti stasiun televisi harus menyewa sebuah helikopter yang tentunya biaya sewanya sangat mahal. Maka terobosan pun muncul dengan digunakannya drone sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Selain itu persaingan industru media terlebih televisi yang menuntut mereka untuk kreatif juga merupakan hal yang mendorong berkembangnya jurnalisme drone ini, stasiun televisi dituntut harus berpikir bagaimana pesan yang disampaikan dapat ditonton dengan lebih menarik. Dengan bantuan drone, stasiun televisi dapat memberikan perspektif lain visual yang didapatkan dari atas. Selain itu persaingan industri media khususnya televisi juga mendorong berkembangnya penerapan jurnalisme drone ini. Stasiun televisi dituntut kreatif, dalam artian stasiun televisi dituntut harus berpikir bagaimana pesan yang disampaikan dapat ditonton dengan lebih menarik. Dengan bantan drone, stasiun televisi dapat memberi perspektif lain visual yang didapatkan dari atas. Tidak hanya untuk peliputan peristiwa, visualisasi hasil drone juga dapat dikolaborasikan dengan seni grafis, sehingga data dan pesain yang disampaikan lebih menarik.
Penerapan Drone Journalism dari Kompas TV saat banjir Jakarta Februari lalu (Kompas Images/ Youtube) |
Penggunaaan drone untuk kegiatan jurnalistik bukan berarti dapat digunakan seenaknya saja oleh media maupun seseorang. Penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik harus memerhatikan pegangan-pegangan dalam Drone Journalism. Pertama, hal yang harus diperhatikan adalah apakah dengan penggunaan drone tersebut akan menambah nilai berita atau justru sebaliknya. Dengan kata lain, penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik bukan semata-mata hanya untuk gaya-gayaan, namun harus mempunyai korelasi dengan pesan yang akan disampaikan. Misalnya pada kasus pelecehan seksual di Jakarta, maka tidak perlu menggunakan drone karena tidak ada korelasi antara keduanya. Berbeda dengan peristiwa adanya demo 10 ribu buruh di Bundaran HI, drone dapat dimanfaatkan untuk menambah nilai berita yang berfungsi untuk melakukan check and recheck keadaan demonstrasi dari atas. Kedua, penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik harus memerhatikan aspek keamanan. Keamanan yang dimaksud meliputi dua hal, pertama menyangkut keamanan negara. Di Prancis penggunaan drone dilarang, pernah suatu ketika wartawan Al Jazeera ditangkap karena menerbangkan drone di Menara Eiffel karena dianggap membahayakan keamanan negara. Selain itu, keamanan juga menyangkut orang yang ada di bawahnya, penggunaan drone harus memperhatikan ada atau tidaknya resiko terhadap orang di bawahnya. Ketiga, penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik harus memerhatikan aspek hukum dan ruang publik. Penggunaan drone tidak boleh digunakan untuk mencari gambar hal-hal yang melanggar ruang publik seperti untuk mengintip seseorang. Sekumpulan paparazzi di Prancis pernah ditangkap oleh kepolisian karena kedapatan tengah menggunakan drone untuk mengintip artis Paris Hilton di pantai pribadinya. Hal inilah yang tidak diperbolehkan dalam penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik.
Di Indonesia stasiun televisi yang pertama kali dan sering menerapkan konsep Drone Journalism ini ialah Kompas TV. Alexander Wibisono berbagi pengalamannya bagaimana sulitnya mendapatkan izin terbang drone seperti saat akan meliput pelantikan presiden Jokowi tahun 2014 lalu di Istana Negara, sebab jika tidak izin terlebih dahulu, hal itu dianggap sebagai ancaman bagi negara, sniper bisa saja menembak jatuh drone tersebut kapan saja. Diceritakan juga oleh dia, ketika Kompas TV pernah melakukan liputan dengan drone tanpa ijin di depan Monas, 15 menit kemudian polisi menggerombol mobil satelit milik Kompas TV dan langsung memerintahkan untuk menurunkan drone, gambar pun diperintahkan untuk langsung dihapus sebab hal ini sangat sensitif dengan keamanan jadi harus digunakan secara hati-hati
Drone memungkinkan fotografer mengambil obyek dari sudut 90 derajat (Foto: Yusuf Harfi) |
Comments
Post a Comment
Saya harap anda puas membaca tulisan saya seperti halnya saya puas saat menulisnya.
Kamu adalah apa yang kamu tulis! Komentarmu mencerminkan isi otakmu. Mari budayakan berkomentar baik di internet.