Oleh:
Yusuf
Harfi
Saya memesan secangkir capuchino hangat malam itu, sebuah keputusan yang tepat setelah menerjang
hujan di jalanan Yogyakarta yang ramai kendaraan bermotor. Sebuah cafe kecil di jantung perkampungan padat
Sosrowijayan. Sebuah kampung tepat di belakang Malioboro, kawasan perbelanjaan
yang tersohor itu. Sosok pria paruh baya sudah menunggu saya duduk di salah
satu kursi dekat jendela. Saya berjumpa dengan Reza, mahasiswa yang sedang
menempuh studi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta ini sepakat dengan
saya untuk bertemu di tempat itu.
Ditemani gemercik hujan, dan tentunya
hangatnya capuchino, kami bicara
panjang lebar tentang apa yang setidaknya hampir dua tahun ini menjadi
kesibukan seorang Reza. Dia tergabung dalam sebuah komunitas yang menurut saya
luar biasa dalam menjawab persoalan sosial di kota yang punya julukan kota
pendidikan dan juga kota wisata ini, Save
Street Child (SSC). Mendengar
namanya sekali saja, orang-orang akan tahu apa yang menjadi alasan dan tujuan untuk
apa komunitas ini dibentuk. Menyelamatkan anak-anak jalanan. omunitas di mana Reza kini menjadi salah satu
pentolannya ini fokus pada pendidikan dan pendampingan para anak jalanan di
kota Yogyakarta, terkhusus mereka yang tersebar mulai dari Malioboro, Pasar
Kembang, Abu Bakar Ali, Mangkubumi, hingga sekitaran Keraton.
“Kebanyakan dari mereka bukan asli Yogyakarta, mereka berasal dari luar daerah. Awalnya tidak banyak anak jalanan yang ikut dengan kami, tapi lambat laun mereka mengajak temannya ke komunitas kami, sekarang sekitar 30 sampai 40 anak,” tutur Reza.
“Kebanyakan dari mereka bukan asli Yogyakarta, mereka berasal dari luar daerah. Awalnya tidak banyak anak jalanan yang ikut dengan kami, tapi lambat laun mereka mengajak temannya ke komunitas kami, sekarang sekitar 30 sampai 40 anak,” tutur Reza.
Anak jalanan sudah menjadi permasalahan
bersama bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan juga
Yogyakarta melalui Dinas Sosial Kota Yogyakarta, dan juga Dinas Sosial Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, melihat persebaran mereka juga telah sampai ke daerah
lain seperti Sleman dan Bantul. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mencatat ada kurang lebih 1.200 anak pada tahun 2008 lalu, di mana
berhasil diturunkan menjadi 312 anak pada tahun 2011 melalui program-program
penanganan dan pendampingan. Walaupun demikian, data statistik jumlah anak
jalanan di kota Yogyakarta bisa dibilang simpang siur melihat mobilitas anak
jalanan yang cukup tinggi. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian
Sosial Republik Indonesia merilis statistik anak jalanan seluruh Indonesia
mencapai 34.000 anak pada 2015. Sebagian besar dari jumlah itu berada di
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.
Reza menceritakan kepada saya bagaimana para anak jalanan di sekitaran Malioboro melakukan aktivitasnya sehari-hari yang mana harus mengurus dirinya sendiri. “Mereka di sini hidup mandiri, lebih sering beraktivitas malam hari, kalau siang biasanya tidur,” katanya. “Banyak yang tidak tahu siapa orangtua dan keluarganya,” tambah Reza.
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara”
– UUD 1945, Pasar 34 Ayat 1
Siang harinya, saya menyempatkan kembali lagi
melangkahkan kaki di jalanan Malioboro. Seperti biasa, para penjual dan
pengunjung membaur di antara bangunan-bangunan toko yang berderet. Saya sengaja
berjalan kaki dari ujung persimpangan jalan Pasar Kembang dan Abu Baka Ali ke arah selatan menuju
bilangan Nol Kilometer sejauh 700 meter dan kembali lagi melewati sisi jalan
yang berbeda. Saya menemui beberapa anak jalanan yang saya perkirakan umurnya
seusia anak SMP. Duduk sendiri di tepi jalanan Malioboro. Dua anak yang lain
sedang memainkan gitarnya di hadapan para pelancong. Mengharap koin demi koin
masuk ke kantong yang sudah mereka siapkan. Tidak banyak yang saya temui, hanya
beberapa. Benar apa yang dikatakan Reza, mereka lebih suka beraktivitas malam
hari.
Ketika malam hari, para anak jalanan biasa
berpencar di beberapa titik mulai dari kawasan Malioboro, Mangkubumi, Pasar
Kembang, Nol kilometer, hingga kawasan Alun-alun utara. Ada yang tidak melakukan
apa-apa hanya bersenda gurau dengan rekannya, sesekali menengadahkan tangannya
kepada pengguna kendaraan yang berhenti di lampu lalu lintas, ada pula yang
sibuk bekerja lewat petikan gitarnya. Semakin malam maka akan semakin mudah
menemui mereka.
Angka anak putus sekolah di Yogyakarta
berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah anak jalanan. Banyak anak jalanan
yang tergabung dalam SSC yang tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya
akibat faktor kemiskinan dan juga dorongan untuk bekerja mencari penghidupan. Reza
menceritakan kepada saya bagaimana upayanya bersama para relawan di komunitas
SSC untuk memenuhi hak akan pendidikan bagi mereka, sebagaimana telah
diamanahkan dalam undang-undang negeri ini. Selain memberikan pendidikan
keilmuan, SSC juga memberikan pendidikan keahlian kepada para anak jalanan
seperti keahlian menyetir. “Sebagian besar sudah tidak sekolah formal, kami
mencoba memberikan pendidikan informal seperti menyetir dan keahlian-keahlian lainnya,”
terangnya. Ia menceritakan seorang anak jalanan yang ikut dengan SSC yang kini
mendapatkan pekerjaan tetap sebagai supir jasa angkutan setelah diberikan
pelatihan.
Untuk melaksanakan agenda mereka bersama para
anak jalanan, para relawan SSC akan mendatangi satu per satu anak jalanan untuk
memberitahukan agenda apa, kapan, dan di mana kepada mereka, tersebar dari
Malioboro hingga kawasan Mangkubumi dan sekitarnya. “Tidak ada handphone, kami harus mencari mereka dan
memberitahu secara langsung”.
Bisa berbaur dengan para anak jalanan bukanlah
hal yang mudah. Reza bersama SSC mengaku membutuhkan waktu yang cukup lama agar
para anak jalanan dapat menerima kehadiran mereka. Penanganan harus benar-benar
partisipatoris. Harus ada pendekatan secara intens apabila ingin berinteraksi
dengan mereka. “Banyak mahasiswa yang bekerjasama dengan kami untuk melakukan
kegiatan sosial dengan para anak jalanan seperti penyuluhan atau pelatihan,
tidak jarang mereka tidak diperdulikan karena tidak ada pendekatan sebelumnya,
tahu-tahu datang,” terangnya sambil sesekali menyeduh minuman.
Upaya untuk menyekolahkan para anak jalanan di
sekolah formal telah diusahakan komunitas SSC. Tak sekedar membalikkan telapak
tangan, upaya tersebut menemui banyak hambatan. Ada yang lebih suka kerja, ada
juga yang terkendala data administrasi seperti akta kelahiran dan identitas
lainnya yang membuat sekolah tidak mau menerima mereka sebagai murid.
SSC tidak sendirian, ada komunitas anak
jalanan lainnya yang tersebar di Yogyakarta dengan tujuan dan cita-cita yang
sama. Membantu memenuhi hak-hak mereka untuk mendapat akses pendidikan yang
terenggut kerasnya kehidupan kota. “Hambatan selalu ada, rumah singgah kami
pernah dipaksa tutup oleh warga, tidak jarang kami harus mondar-mandir ke kantor
Satpol PP untuk mengadvokasi anak-anak yang terazia, kami jelas butuh bantuan
pemerintah,” tutup Reza mengakhiri perbincangan kami malam itu.
Sumber referensi:
Data putus sekolah SD dan SMP tahun 2008-2011
<http://www.data.go.id/group/pendidikan>
Data anak jalanan di Yogyakarta <http://e-journal.uajy.ac.id/6809/3/TA212958.pdf>
Pusat Data Informasi (Pusdatin Kemsos) <www.kemsos.go.id>
Anak muda harus gerak. Boleh kritis tapi yang solutif. Saya rasa semua diawali dengan faktor ekonomi.
ReplyDeletenarasinya di perbaiki mas yusuf hehehe :D konten sudah bagus, urutan penulisan di perhatikan biar pembaca fokus : ) sukses
ReplyDeletenarasinya agak kurang tune in mas, konten bagus, kalo bsa dibuat bahasa yang org ttp betah membacanya dari awal sampai akhir
ReplyDeleteWah maturnuwun kritik dan sarannya mas bep hehe
ReplyDelete