Kembang Kempis di Kota Kembang

Saya memulai menuliskan tulisan ini di sebuah cafetaria sembari mengamati lalu lalang para penumpang yang silih berganti memadati ruang tunggu Stasiun Hall, atau mungkin yang lebih familiar di telinga orang-orang dengan nama Stasiun Bandung. 

Walaupun jadwal keberangkatan saya kembali ke Yogyakarta masih dua jam lebih, saya sudah standby di stasiun tiga jam sebelumnya. Resepsionis hotel tempat saya menginap selama di kota Kembang sudah mengharuskan saya harus check out selambat-lambatnya tengah hari pukul 12 siang.
 
Sebenarnya saya bisa saja mampir ke suatu tempat terlebih dahulu sembari menunggu kereta api jurusan Bandung - Solo Balapan yang tumpangi siap untuk dinaiki. Saya memilih langsung menuju stasiun, tak peduli harus menunggu berjam-jam, dalam pikiran saya, justru saya bisa lebih bersantai di ruang tunggu, membaca lembar demi lembar koran hari ini dan buku karangan Haruki Murakami yang sengaja saya bawa untuk menemani waktu-waktu luang seperti saat ini.

Saya tiba di Bandung dua hari sebelumnya, berangkat dari stasiun Gambir di Jakarta Pusat. Cukup memakan waktu tiga jam saja menggunakan kereta api Argo Parahyangan saya sudah menginjakkan kaki di lantai stasiun terbesar di Daerah Operasional (Daops) 2 PT. Kereta Api Indonesia itu. Jikalau nanti kereta cepat Jakarta-Bandung yang sedang digagas pemerintah itu jadi, mungkin saya tidak sempat untuk tidur sejenak di dalam kereta. Kabarnya Jakarta-Bandung dapat dilahap dalam 35 menit saja dengan kereta cepat.

Saya memilih sebuah penginapan kecil di kawasan Ence Aziz setidaknya untuk dua malam saya tidur di Bandung. Biaya semalam standar, tidak mahal juga tidak murah, dua lembar seratusan ribu rupiah cukup membuat badan saya terbujur nyaman di kamar.


Lebih Baik Jalan Kaki 
Beberapa landmark (penanda) Kota Bandung seperti kawasan Alun-alun Bandung, Asia Afrika, hingga Braga menjadi tempat-tempat yang sengaja saya datangi di sore harinya setiba di Bandung. Sinar matahari yang keoranye-oranyean sangat mendukung suasana nyore di kawasan tersebut. Alih-alih pakai kendaraan menuju tempat-tempat tersebut, sepertinya hal itu bukanlah ide yang baik di saat-saat seperti itu. Maka alas kaki lah yang menjadi pilihan kendaraan paling cocok menikmati sore hari menyusuri jalanan Bandung, alias jalan kaki. Celana abu-abu selutut dipadu kaos oblong merah marun, sambil menenteng tas kamera ala-ala street photographer menjadi setelan pilihan saya waktu itu. Penginapan saya boleh saya bilang lumayan strategis, tidak ada satu kilometer dari situ, kaki saya sudah sampai Alun-alun Bandung yang belakangan tersohor itu. Dari kejauhan di ruas jalan Sudirman, dua menara Masjid Agung Bandung yang bersebalahan dengan Alun-alun sudah terlihat menjulang tinggi. Begitu ramai sesampai di sana. Muda mudi, tua muda, para keluarga asik bercengkerama di atas alun-alun yang didesain dengan rumput sintetis tersebut. Suka tidak suka, saya akui Ridwan Kamil memang memiliki nilai lebih dalam hal memberikan ruang interaksi publik bagi warganya sendiri. 

Sudah sejenak duduk dan menikmati suasana, saya kembai melangkahkan kaki ke arah timur. Bangunan-bangunan historis dengan arsitektur Belanda sudah berderet tertata rapi dipadu trotoarnya yang lebar dan bersih. Momentum peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika pada tahun 2015 lalu menjadi titik awal penataan jalan bersejarah Asia Afrika. Kendaraan bermotor padat melintas, para pejalan kaki tidak mau kalah banyak. Karena masih dalam suasana peringatan agustusan, atribut merah putih banyak menghiasi gedung-gedung saksi sejarah berkumpulnya pemimpin-pemimpin negara Asia Afrika 60 tahun silam.

Masih dalam satu kawasan, jalanan Braga yang membujur ke arah utara juga tidak kalah tebar pesona. Ruas jalan sepanjang 700 meter ini juga memendam sisi sejarah yang panjang.  Konon kata Braga berasal dari bahsa Sunda, Ngabaraga, yang artinya bergaya. Kawasan pertokoan dan restoran yang masih mempertahankan gaya arsitektur Art Deco ini sudah jadi primadona sejak zaman kolonial. Ungkapan "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum", sepertinya memang berlaku di sini. Kesan klasik Braga sudah terlihat sejak persimpangan jalan Asia Afrika di ujung selatan.



Warganya yang Bahagia
Walikota Bandung mungkin salah satu pemimpin daerah yang paling dikenal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan hanya Bandung. Arsitek jebolan Barkeley University ini memang sudah mulai selangkah demi selangkah menunjukkan perubahan bagi kota yang dipimpinnya itu. Salah satunya dalam hal menata kota. Tersedianya akses pejalan kaki merupakan salah satu alasan saya meyusuri jalanan Bandung dengan jalan kaki. Di samping budget yang tipis tentunya. Papan penunjuk jalan pun banyak terpasang memudahkan perjalanan. Ruang interaksi publik direvitalisasi dengan baik. Trotoarnya diperlebar. Taman-taman kota dipercantik. Sesekali saya berhenti dan duduk sejenak di kursi besi yang terpasang berjejer di sepanjang trotoar. Sedikit menghela nafas dan minum satu dua teguk air minum. Cukup melelahkan dan membuat kembang kempis dada saya.

Sisi lain yang saya suka dari kota ini adalah melihat warganya berhamburan di luar ruangan memenuhi taman-taman dan tempat interaksi publik lainnya. Sudah cukup menyenangkan buat saya ketika mengamati anak-anak kecil asik berlari-larian dan orangtua mereka duduk mengamati dari kejauhan. Acara-acara di ruang terbuka hampir tidak pernah absen setiap akhir pekan. Saya menyempatkan menyambangi taman Balai Kota Bandung di hari kedua. Kebetulan sedang ada festival yang sedang digelar di sana. Ramai dan tempatnya cukup luas. Semua warga punya akses masuk ke lingkungan balai kota yang menjadi tempat ngantornya Ridwan Kamil itu. Seperti yang sudah saya tulis di atas, Ridwan Kamil memang punya nilai lebih dalam hal menyediakan ruang publik untuk warganya sendiri. Taman Balai Kota dipercantik, anak sungai di pasangi penyaring air sehingga anak-anak bisa bermain di sungai tanpa ada ancaman air kotor atau bau, taman-taman dibangun dan dipercantik, fasilitas pelayanan umum ditingkatkan. Tak heran jika kabarnya tahun 2015 lalu indeks kebahagiaan warga Kota Bandung naik signifikan dari 60 persen menjadi 70,60 persen.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Bandung. Lebih tepatnya ini kali pertama saya benar-benar menikmati Bandung setelah dulu hanya 'mampir sebentar'. Tidak terasa kereta Lodaya yang saya tunggu sudah menunggu di jalur tiga, maka tibalah waktu untuk saya kembali ke Yogyakarta.

 

Comments

  1. Jooss mas yusuf. Nek tambah dowo tulisane tambah gayeng mocone ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makin lama stay bakal makin panjang cerita, sayange cuman ada waktu 2 malam di bandung. Hehe.

      Delete
  2. Duh habis baca bikin baper... pengen ke Bandung naik kereta neh T_T. Pluuus kapan yah Jogja bisa serapi, tertata, bersih dan terawat kayak Bandung?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Visi kota Jogja belum ke arah situ. Semoga walikota baru tahun depan punya visi ke situ. Hehe.

      Delete

Post a Comment

Saya harap anda puas membaca tulisan saya seperti halnya saya puas saat menulisnya.

Kamu adalah apa yang kamu tulis! Komentarmu mencerminkan isi otakmu. Mari budayakan berkomentar baik di internet.