Jalan Panjang Gerabah Kasongan


“Saat gempa Yogyakarta 2006, barang-barang saya rusak parah, hanya lima persen yang selamat, tapi tidak apa-apa, yang penting sehat, sejatinya yang dari tanah kembali ke tanah.”

Yamini (48) sedang sibuk mengecat guci-guci kecil berukuran diameter lima centimeter di lapaknya di pinggir jalan sore hari ketika saya datang menghampirinya. Ia adalah salah satu dari ratusan pengrajin gerabah di kawasan Desa Wisata Kasongan, sebuah kawasan di Kabupaten Bantul, kurang lebih 15 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Bersama suami dan dibantu dua anaknya, ia membuka usaha kerajinan gerabah sejak tahun 1984 dengan nama Yamini Craft. 

Tidak sebanyak sekarang, pada awal Yamini membuka usahanya, pengrajin gerabah di Kasongan hanya sedikit, itu pun barang yang dijual terbatas alat-alat dapur seperti anglo. Yamini ingat betul saat itu baru ia dan suaminya yang menjajakan kerajinan Gerabah di sekitar rumahnya. Hingga pada kurun waktu tahun 1998, kawasan Kasongan tumbuh menjadi sentra pengrajin gerabah yang cukup besar di wilayah Yogyakarta seiring meningkatnya penduduk pendatang dari luar Kasongan. 

Kini, setelah 33 tahun lamanya merintis usaha gerabah dari nol, Yamini masih ulet dan telaten bekerja sebagai pengrajin gerabah dari proses pembuatan hingga penjualan. “Daripada nglangut (tidak ada pekerjaan) kan, Mas,” katanya. 

Kasongan memiliki sisi historis yang panjang sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Desa Kasongan muncul menjadi sentra industri gerabah tidak lepas dari konteks perjuangan Pangeran Diponegoro bersama pasukannya dalam Perang Jawa yang pecah pada tahun 1825 hingga 1830. Kasongan pada saat itu menjadi daerah garis depan pertahanan Pasukan Diponegoro di mana tidak jauh dari Kasongan terdapat Goa Selarong yang menjadi tempat bersembunyi Pasukan Diponegoro selama peperangan. 

Dalam penelitiannya, SP Gustami yang diterbitkan oleh The Arts Journal yang berjudul Craft Arts and Tourism in Ceramic Art Village of Kasongan in Yogyakarta (2014) menyebutkan tradisi lisan dari masyarakat lokal mengatakan bahwa Kasongan pada awalnya adalah sebuah komunitas pertanian dengan sawah dan perkebunan yang luas. Peristiwa bermula ketika seekor kuda milik perwira Belanda tewas di sebuah sawah.

Warga setempat tidak berani mengakui kepemilikan sawah di mana kuda tersebut tewas karena takut dengan pemerintah kolonial sehingga tanah tersebut dibiarkan tanpa pemilik. Seorang utusan Pangeran Diponegoro, Kyai Abdulraupi atau yang juga dikenal dengan Kyai Kasongan atau yang juga masyarakat lokal setempat lebih sering menyebutnya Kyai Song merintis kerajinan yang bahan bakunya berasal dari tanah liat dari persawahan dan perkebunan tempat di mana kuda perwira Belanda ditemukan tewas. Istilah “Kasongan” pun diyakini merujuk dari nama Kiai Song, yang kini namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Kasongan. Asal-usul Kasongan tersebut tertulis dan dijelaskan dalam naskah Babad Diponegoro yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro. Kini, Kasongan tumbuh menjadi sentra pengrajin gerabah terbesar di wilayah Yogyakarta.




Yamini sendiri adalah salah satu pengrajin dari total 582 pengrajin gerabah yang terdaftar oleh Dinas Perindustrian. Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul. Puluhan tahun menggantungkan hidup pada gerabah, Yamini sudah merasakan lika-liku berjualan. Selain dituntut harus mampu bersaing dengan pengrajin lainnya, Yamini dihadapkan pada persoalan naik turunnya penjualan gerabah, terlebih sudah beberapa tahun ini Yamini Craft tidak mampu lagi mengekspor kerajinan gerabah ke luar negeri. “Sekarang tidak ekspor lagi,” tuturnya. Negara-negara seperti Australia hingga negara Eropa seperti Perancis dan Spanyol adalah negara tujuan ekspor gerabah buatan Kasongan.

Saya juga berkesempatan bertemu dengan Nur (30), anak perempuan Yamini ini juga membantu ibunya mengurus dan mengembangkan Yamini Craft. Peristiwa gempa Yogyakarta yang meluluhlantahkan Bantul dan sekitarnya pada 2006 silam menjadi titik balik di mana mereka bersama para pengrajin lainnya di Kasongan mengalami kerugian yang besar. 

“Barang-barang saya rusak parah, hanya lima persen yang selamat, tapi tidak apa-apa, yang penting sehat, sejatinya yang dari tanah kembali ke tanah,” tutur Yamini kepada saya.

“Sebelum gempa kegiatan ekspor kami cukup lancar, setelah gempa sangat menurun, terakhir kami ekspor pada tahun 2013,” tambah Nur.

Kawasan Bantul memang menjadi kawasan yang paling parah mengalami kerusakan saat gempa Yogyakarta 11 tahun silam tersebut. Pengrajin Kasongan mau tidak mau harus melakukan produksi lagi untuk mengganti persediaan kerajinan yang sudah hancur. Pada saat itu pemerintah membagikan alat-alat produksi secara gratis kepada para pengrajin Kasongan untuk dapat melakukan produksi kembali.

Tidak mau berharap banyak pada ekspor, Yamini Craft kini lebih fokus memasarkan produk di tingkat lokal. “Banyak dari Purwokerto dan Kalimantan, biasanya mereka yang langsung datang ke sini,” imbuh Yamini. Wisatawan yang datang pun sangat tentatif. “Biasanya yang ramai hanya toko-toko kerajinan yang dekat dengan pintu masuk, semakin ke dalam semakin sepi. Jarang wisatawan datang hingga ke dalam, kecuali kalau mereka memang sudah tahu tempatnya,”.

“Ketika menjelang puasa atau momentum mulud (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW) biasanya penjualan meningkat, di luar itu biasa-biasa saja, bahkan relatif menurun,” Nur menambahkan.

Melihat Peran Pemerintah
Tidak jauh dari lapak Yamini Craft, saya menemui Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kasongan, Suwarjo, di kantornya di Jalan Kiai Song, masih satu kawasan di Desa Wisata Kasongan. UPT Kasongan adalah kepanjangan tangan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul yang bersentuhan langsung untuk membina dan mengembangkan Desa Wisata Kasongan. Sejak didirikan pada tahun 1985 silam, UPT Kasongan menaungi para pengrajin Kasongan yang tergabung dalam Koperasi Setya Buwana, pimpinan seniman gerabah Timbul Raharja.

Suwarjo mengaku, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi melalui UPT Kasongan telah berusaha membantu pemasaran kerajinan gerabah melalui beberapa bentuk pembinaan. Awalnya dinas melakukan pembinaan dengan membina para pengrajin untuk menggali desain-desain baru untuk diproduksi, dari segi pemasarannya UPT Kasongan membantu mempromosikan produk melalui media massa dan internet. Selain itu, dalam rangka menyediakan ruang pengrajin untuk memasarkan produk, UPT Kasongan sering mengajak para pengrajin untuk mengikuti pameran produk kerajinan. “Selain membina pembuatan desain, kami sering mengajak para pengrajin untuk ikut pameran,” terang Suwarjo.

Walaupun demikian, ada prasyarat yang harus dipenuhi bagi pengrajin agar dapat mengikuti pameran. UPT Kasongan akan melihat kelas pengrajin apakah ia dapat diikutkan ke pameran atau tidak, sesuai dengan kelas usahanya. “Dilihat dulu kelasnya, apakah dia cocok pameran di luar negeri, di Jakarta, atau di daerah,” tambah Suwarjo.

Lebih lanjut Suwarjo mengakui secara umum tren penjualan kerajinan gerabah di Kasongan relatif belum tumbuh, namun relatif stagnan di tingkat yang sama. “Tren penjualan ajeg (stagnan), memang ada toko yang mengalami kenaikan, tapi juga ada yang sedang turun,” imbuhnya.

Bagi Yamini Craft yang lingkup usahanya tidak terlalu besar, pemasaran produk masih menjadi kendala. Berbeda dengan toko-toko kerajinan lainnya yang sudah memiliki rekanan usaha dan lingkup usahanya lebih besar. “Kalau tidak punya reseller ya begitu, susah jalan,” tutur Nur.

Untuk mendongkrak dan memaksimalkan pemasaran, Yamini Craft sudah merintis pemasaran melalui internet media sosial secara mandiri, paling tidak agar usahanya tetap mampu berjalan di tingkat lokal. Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Suwarjo, menurut Nur peran serta pemerintah dalam mengembangkan usaha kecil Kasongan belum menyentuh keseluruhan pengrajin di Kasongan, termasuk Yamini Craft. “Tidak ada bantuan dari pemerintah, karena usaha di sini berdiri sendiri-sendiri ya kita promosinya mandiri,” tutup Nur mengakhiri obrolan kami sore hari itu.

Comments