150 Tahun Berkalung Besi



Saya ingat perjalanan pertama saya naik kereta api, kurang lebih 15 tahun silam, dari Yogyakarta menuju Pasar Senen Jakarta. Banyak penumpang saat itu yang tidak kebagian tempat duduk harus bergelengsoran di alas gerbong, mereka mengayun-ayunkan kipas kecil karena panasnya udara dalam gerbong, bahkan hingga ke toilet mereka berdesakan. Beberapa pedagang asongan kesana kemari menenteng dagangannya dari gerbong ke gerbong. “Permen, Dik.” Ia menawari saya sambil mengoyak-ngoyak bungkusnya hingga berbunyi. Ah, anak kecil mana yang tak tergoda. 

Saya juga masih ingat sengaja untuk terjaga di malam hari hanya untuk menanti kereta memasuki terowongan. Memandangi hamparan sawah dengan latar pegunungan dari balik jendela yang kusam menjadi hal yang biasa dilihat, namun hal itulah yang membuat melakukan perjalanan dengan kereta api begitu menyenangkan. Sampai sekarang.

Moda transportasi kereta api punya tempat tersendiri di masyarakat Indonesia. Selain mempunyai nilai historisitas yang tinggi, sejak kanak-kanak kita sudah diperkenalkan dengan kereta api. Lagu Naik kereta api misalnya, menjadi lagu wajib anak-anak kala itu, termasuk saya ketika kanak-kanak. Bukan kemarin sore, Indonesia tercatat dalam sejarah sudah menikmati moda transportasi ini sejak 1867 silam. Benar sekali, 150 tahun ke belakang dari saat ini. Sejarah itulah yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang memiliki sejarah tertua dalam dunia perkeretaapian. 

Merayakan momentum 150 tahun kereta api hadir di Indonesia, saya ditemani beberapa kawan berusaha membuktikan betapa berharganya sejarah yang melekat pada dunia kereta api Indonesia dalam satu kesempatan ekspedisi. Kami mendatangi beberapa titik di beberapa daerah di Indonesia untuk mengulik lebih banyak sepak terjang si roda besi ini. Megahnya perjalanan kereta api Indonesia dari masa ke masa kami tuliskan dalam kisah perjalanan berikut. 

Pulau Jawa yang Berkalung Besi
Raja Kerajaan Kediri yang hidup di abad 12, Jangka Jayabaya yang termasyhur dengan ramalan Jayabayanya menyebutkan, “Sesuk yen wis ana kereta mlaku tanpa djaran. Tanah Djawa kalungan wesi.” Kelak ketika sudah ada kereta yang berjalan tanpa ditarik kuda, tanah Jawa akan berkalung besi, kurang lebih artinya begitu. Tanah Jawa berkalung besi merujuk pada keadaan Pulau Jawa yang sudah terhubung dengan rel kereta api. Alat angkut tidak lagi harus ditarik oleh seekor kuda seperti dahulu. Banyak yang memercayai ramalan tersebut sangat relevan dengan kondisi sekarang, walaupun tak sedikit yang masih ragu. 

Terlepas dari hal tersebut, ‘kalung besi’ yang melilit Pulau Jawa memang telah terpasang dari ujung barat ke ujung timur sejauh ratusan kilometer. 10 Agustus 1867, jalur kereta api pertama di Indonesia resmi beroperasi melayani jalur Semarang-Tanggung sejauh 30 kilometer.
Sisa-sisa jalur bersejarah itulah yang coba kami telusuri ketika tiba di Semarang (10/7) lalu.  Pagi-pagi sekali, kami tiba di Ambarawa setelah menempuh perjalanan dari Yogyakarta. Ambarawa adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Semarang. Bagi pecinta sejarah kereta api, Semarang dan sekitarnya merupakan tempat yang tepat untuk membuka lagi lembaran-lembaran sejarah awal mula kereta api hadir di Indonesia. 150 tahun silam, perusahaan kereta api Nederlandsch Indisiche Spoorweg Masschapiij (NISM) didirikan di Semarang guna mempersiapkan proyek jalur kereta api pertama. 

Di Ambarawa, kami berkesempatan mengunjungi Stasiun Willem I, atau mungkin yang sekarang lebih dikenal dengan Museum Kereta Api Ambarawa. Lokomotif-lokomotif uap tua yang mengingatkan kami pada karakter film kartun Thomas and Friends itu sudah menyambut kami sejak melewati pintu masuk museum. Melihat dari infomasi pabrik dan tahun pembuatannya, lokomotif-lokmotif uap ini kebanyakan didatangkan langsung dari Jerman. Di dinding sebuah lorong bangunan, terpampang perjalanan waktu kereta api Indonesia dari masa ke masa. Cukup panjang memenuhi dinding museum, mengingat sejarahnya juga memang panjang. 

Lokomotif tua D5108, salah satu koleksi Museum Kereta Api Ambarawa
Nama stasiun kereta api yang ada di jalur kereta api Semarang-Yogyakarta ini diambil dari salah satu nama raja Belanda. Pada tahun 1976, bertepatan dengan penutupan jalur Semarang-Yogyakarta, bangunan stasiun Willem I diubah menjadi bangunan museum. Foto jam penunjuk waktu di awal tulisan ini adalah salah satu saksi bisu lokomotif-lokomotif uap datang dan pergi di stasiun ini.

Meskipun sudah sangat tua, tidak semua lokomotif uap yang berada di Ambarawa tidak bisa digunakan lagi. Sebuah lokomotif uap masih digunakan untuk perjalanan wisata setiap akhir pekan. Walaupun sudah berumur 147 tahun lebih, pengunjung museum berkesempatan menikmati nuansa perjalanan kereta api era kolonial dengan rute Ambarawa-Jambu-Bedono dan berakhir di Tuntang. Sayang, kami tiba di waktu yang kurang tepat.

Informasi sejarah kereta api dari waktu ke waktu yang terpampang di museum membuat kami penasaran untuk mengunjungi sisa-sisa sejarah kereta api di Semarang yang lainnya. Perjalanan kami berlanjut ke pesisir Semarang utara, tidak jauh dari keramaian aktivitas di pelabuhan Tanjung Emas. Berbekal peta digital dan informasi dari warga sekitar, kami tiba di kelurahan Kemijen dan menemui bangunan tua stasiun bernama Samarang Gudang. 

Sayup-sayup kami mendengar bunyi penanda stasiun masih kami dengar, bangunan ini memang tidak jauh dari Stasiun Besar Semarang Tawang. Beberapa literatur menyebut bahwa stasiun ini adalah stasiun kereta api pertama yang dibangun di Indonesia, seiring dibukanya jalur kereta api pertama Semarang-Tanggung. Walaupun demikian, ada tiga versi yang menyebutkan stasiun pertama di Indonesia yang juga menjadi perdebatan. Di kawasan ini, ada tiga bangunan stasiun yang lokasinya berdekatan, yakni Samarang Gudang, Samarang NIS, dan juga Kemijen. Dari ketiga stasiun tersebut, hanya Samarang Gudang yang masih mudah dikenali secara bangunan fisik. Sementara Kemijen dan Samarang NIS tenggelam di antara perumahan warga dan air rob. Terlepas dari segala perdebatan, sejarah panjang ular besi di Indonesia ini dimulai dari kawasan ini.

Kondisi bangunan Samarang Gudang yang dikelilingi air rob di Kelurahan Kemijen, Semarang.
Meski bernasib sedikit lebih baik dari Samarang NIS dan Kemijen, kondisi Samarang Gudang cukup memprihatinkan. Cat dinding stasiun mengelupas, di beberapa bagian bangunan dipasangi bambu penyangga agar tidak roboh. Kami tidak bisa melihat wujud rel lagi, rel kereta api di kawasan ini telah terendam air yang kini oleh warga sekitar dijadikan tambak dan tempat untuk memancing ikan. Semarang utara memang dikenal sebagai daerah rawan banjir rob ketika air laut pasang. Sekitar 100 meter sebelah selatan, kini sudah dibangun jalur rel baru yang hingga kini masih beroperasi. Tidak banyak informasi yang kami dapat dari warga sekitar tentang Samarang Gudang. 




Berniat menggali informasi lebih dalam tentang awal mula sejarah jalur pertama kereta api, kami bertolak menuju gedung Lawang Sewu di kawasan Tugu Muda malam harinya. Lawang Sewu adalah bekas kantor perusahaan kereta api NISM yang dibangun tahun 1904. Setelah dipugar, bangunan kuno megah ini dibuka oleh PT. Kereta Api Indonesia sebagai museum dan tempat wisata pada 2004.

Kami ditemani Rochani, seorang pemandu wisata yang mengajak kami mengelilingi tiga bangunan utama gedung bernama asli Het Hoofdkantoor Van De Nederlands Indische Spoorweg Mastchapiij ini. Kerlap-kerlip lampu malam Lawang Sewu sudah menyambut kami yang datang satu jam sebelum wisata ditutup. Bangunan tiga lantai bergaya art deco itu baru ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1992 silam, sebelumnya pernah dipakai sebagai kantor TNI Angkatan Darat. "Sebelumnya pernah terbengkalai, banyak bagian seperti besi hilang dicuri untuk dijual," ujar Rochani. Kebetulan Rochani tinggal tidak jauh dengan Lawang Sewu, ia mengalami masa-masa bangunan tersebut terbengkalai sebelum akhirnya dibuka menjadi tempat wisata. "Dulu sering main bola di sana sampai magrib," tuturnya sambil menunjuk sebuah pohon mangga besar yang kami kira pohon beringin tumbuh rimbun di halaman tengah gedung.

Karena memiliki banyak pintu, orang Jawa kemudian lebih suka menyebutnya Lawang Sewu, dalam bahasa Jawa yang berarti pintu seribu. "Walaupun sebutannya Lawang Sewu tapi jumlah aslinya 928 daun pintu, satu kusen ada empat daun pintu, total ada 429 kusen," terang Rochani. Memasuki ruangan demi ruangan, kami menemui barang-barang peninggalan NISM seperti mesin cetak tiket, arsip foto, hingga tuas sinyal pengatur rel, walaupun tidak sebanyak apa yang kami lihat di Ambarawa. "Kalau lokomotifnya semua dibawa ke Ambarawa."

Sebagian besar interior ruangan peninggalan NISM tidak lagi kami temukan, setelah Jepang mengambil alih pada 1942, seluruh barang-barang diambil alih. "Kalau ada yang menyebut Lawang Sewu itu museum, maka yang dipamerkan adalah bangunannya, bukan isinya."

Rochani menceritakan sejarah panjang keberadaan NISM di Semarang.

Hingga dipugar sebagai tempat wisata dan mengalami renovasi pada 2013, bangunan Lawang Sewu masih dipertahankan keasliannya yang berciri khas. Walaupun, ada beberapa bagian yang memang harus diganti dengan replika karena kondisinya sudah rusak, Rochani mencontohkannya pada kaca jendela. "Kalau ketemu kaca yang blur, berarti itu masih asli." 

Terkait stasiun kereta api pertama di Indonesia, menurut Rochani yang menggunakan rujukan sejarah dari PT. Kereta Api Indonesia, menyebut Stasiun Tambaksari (Samarang NIS) sebagai stasiun kereta api pertama sembari menunjuk foto-foto arsip NISM yang tertempel. "Relnya sudah tidak kelihatan, keretanya dibawa ke Ambarawa." Cerita Rochani sama persis seperti apa yang kami temui di Kemijen sebelumnya, air rob memang telah menggenangi kawasan stasiun tonggak sejarah perkeretaapian Indonesia tersebut. "Jadi tempat saya mancing, Mas," ujarnya.

NISM menjelma menjadi perusahaan kereta api kolonial besar di era kolonial. Pada 1873, tidak lama setelah jalur Semarang-Tanggung selesai, jalur Semarang-Yogyakarta sejauh 205 kilometer dibuka. Melihat kesuksesan NISM membangun jalur kereta api, Belanda mendirikan perusahaan kereta api milik pemerintah Staats Spoorwegen (SS) pada April 1875. Pendirian NISM dan SS tersebut mendorong munculnya pihak swasta yang ikut mendirikan perusahaan kereta api. Merujuk data dari PT. Kereta Api Indonesia, tercatat ada 11 perusahaan kereta api di era kolonial yang mengoperasikan jalur besi melilit pulau Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi. Dalam selang waktu kurang lebih 60 tahun saja, pada 1928, panjang jalur kereta api di Indonesia mencapai 7.464 kilometer panjangnya "Kalau tidak dijajah Belanda, Indonesia mungkin belum punya jalur kereta api," Rochani berkilah.

Babak Baru Kereta Api Indonesia
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada Maret 1942 yang berbuntut menyerahnya Belanda tanpa syarat disusul pengambilalihan seluruh aset-aset peninggalan Belanda, termasuk kereta api ke tangan Jepang. Kantor NISM diambil alih sebagai perusahaan kereta bernama Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api). Satu hal yang unik, kendati Jepang pernah berkuasa, Rochani dan seluruh pemandu wisata dilarang menceritakan era penjajahan Jepang oleh pengelola, terlebih kepada turis asal Jepang, mengingat tidak banyak arsip yang menjelaskan era penjajahan Jepang. "Misalnya cerita bahwa Lawang Sewu pernah digunakan sebagai penjara," jelasnya. "Kami tidak mempunyai bukti tentang itu."

Peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu pada Agustus 1945 berdampak pada kekosongan kekuasaan di Indonesia. Momentum yang kemudian kemudian dimanfaatkan Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tersebut menjadi titik yang membuka babak baru sejarah kereta api Indonesia. Gagasan untuk menasionalisasi seluruh aset Jepang menjadi milik Indonesia mulai muncul. Pengambilalihan aset kereta api dimulai di Jakarta dengan keberhasilan merebut Stasiun Manggarai dan beberapa stasiun besar di Jakarta. Di daerah lain, Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) berhasil mengambil alih Lawang Sewu pada pertempuran lima hari Semarang, 14 hingga19 Oktober 1945. 

Tampak depan Lawang Sewu dari depan di malam hari.

"Beberapa AMKA gugur sempat dimakamkan di halaman Lawang Sewu, sekarang sudah dipindahkan," kisah Rochani. Noersam, Salamoen, R.M Soetarjo, Roesman, Moenardi, dan Soewardi adalah enam AMKA yang gugur. Aksi heroik tersebut dikenang oleh masyarakat Semarang melalui monumen Tugu Muda yang dibangun tepat di depan bangunan Lawang Sewu. Puncak perebutan aset kereta api ke pangkuan Indonesia terjadi pada 28 September 1945. Di Bandung, AMKA melalui Ismangil mendeklarasikan seluruh aset kereta api dinasionalisasi oleh Indonesia. "Milik Repoeblik Indonesia". Begitu tanda yang dipasang bersama bendera Merah Putih di setiap stasiun-stasiun yang berhasil direbut. Dari peristiwa tersebut, maka lahirlah peringatan Hari Kereta Api Nasional yang menjadi cikal bakal lahirnya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), kini jawatan tersebut dikenal sebagai perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI). 

Semarang menjadi tempat pertama kami menggali lembaran panjang kereta api Indonesia di awal era kolonial. Kami akan mencoba menggali peran strategis kereta api pasca kemerdekaan Indonesia hingga awal abad 21 sebagai transportasi massal di bagian selanjutnya.

Comments